recent posts

banner image

Biografi SAYUTI MELIK - Lengkap




Siapa itu Sayuti Melik? Sayuti Melik adalah tokoh Indonesia yang berperan dalam pencatatan hasil diskusi susunan teks proklamasi. Ia yang mengetikan teks proklamasi yang di bacakan oleh Soekarno-Hatta.

Muhamad Ibnu Sayuti, atau yang umum di panggil Sayuti Melik lahir di Yogyakarta tepatnya di Sleman pada tanggal 22 November 1908. Ia adalah anak dari kelapa desa sleman yaitu Abdul Mu'in alias Partoprawito dan Sumilah.

Dari sejak ia masih kecil, ayahnya sudah mengajarkan Sayuti tentang Nasionalisme. Saat itu, ia melihat langsung ayahnya yang berani menentang kebijakan pemerintah belanda yang memakai paksa sawah milik rakyat. Maka tidak heran jika nantinya Sayuti Melik tumbuh menjadi seorang yang berani menentang ketidak adilan. Ia siap meghardik melalui tulisan-tulisannya. Juga turun langsung ke ranah publik.

Sejak belia, Sayuti Melik sudah berminat pada isu-isu kebangsaan. Ia rajin membaca buku, koran, juga mengikuti acara diskusi yang menghadirkan tokoh berpengaruh. Pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan, menjadi salah satu sosok panutannya saat itu. Terlebih, jarak rumahnya dengan markas Muhammadiyah di Kauman tidak terlalu jauh.

Seiring daya pikirnya yang kian kritis, Sayuti Melik mulai jenuh dengan ide-ide Ahmad Dahlan yang dianggapnya kurang menggigit.

“Lama-kelamaan saya tidak tertarik kepada Kyai Dahlan, karena menurut saya dia kurang progresif-revolusioner. Akhirnya saya tinggalkan Kyai Dahlan, dan saya berguru kepada Haji Misbach,” ucapnya.

Haji Misbach adalah seorang ulama terkenal dari Solo yang beraliran kiri. Pada 1920, Sayuti Melik sekolah di Solo dan mulai mengenal haji merah itu lewat tulisan-tulisannya di majalah Islam Bergerak atau Medan Moeslimin. Di kota itu pula, Sayuti Melik memperoleh tambahan wawasan nasionalisme dari gurunya yang justru orang Belanda, H.A. Zurink.

Dari sinilah Sayuti Melik semakin tertarik pada sosialisme, komunisme, Marxisme, dan seterusnya. Waktu itu, hal-hal beraroma merah belum “diharamkan”, bahkan menjadi salah satu ujung tombak perlawanan terhadap kolonial. Sayuti Melik pun menuliskan pemikirannya dan mengirimkan artikel ke berbagai surat kabar yang terbit di tanah air.

Tulisan dan pergerakan Sayuti Melik yang masif membawanya ke jeruji besi pada usia 16 tahun. Pada 1924, ia menjadi tahanan kolonial di Ambarawa, Jawa Tengah, dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk melawan pemerintah (Arief Priyadi, Wawancara dengan Sayuti Melik, 1986:29).

Dua tahun berselang, ia kena masalah lagi, kali ini lebih serius, dituding terlibat aksi perlawanan—atau dalam sudut pandang pemerintah kolonial: pemberontakan—Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1926. Tak hanya dibui, Sayuti Melik juga turut dibuang ke Boven Digul, Papua, bersama orang-orang PKI (Audrey Kahin, Regional Dynamics of The Indonesian Revolution, 1985:37).

Sayuti Melik baru pulang ke Jawa pada 1933. Namun, tiga tahun kemudian ia dijebloskan lagi ke bui. Sayuti Melik yang saat itu merantau ke Singapura ditangkap pemerintah kolonial Inggris di sana karena dicurigai terlibat dalam gerakan bawah tanah.

Kembali ke tanah air pada 1937, Sayuti Melik bertemu dengan S.K. Trimurti, seorang jurnalis perempuan sekaligus aktivis pergerakan nasional yang juga keluar-masuk penjara sebelum masa itu dan setelahnya. Mereka menikah pada 1938 dan menerbitkan koran Pesat di Semarang.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, Sayuti Melik dan Trimurti juga tak luput dari tekanan. Pesat diberangus oleh Jepang karena dianggap berbahaya. Trimurti dibui, sedangkan Sayuti ditangkap karena dituding sebagai komunis (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, Volume 3, 2004:254).

Tahun 1943, Trimurti dibebaskan atas permintaan Sukarno. Sayuti Melik dan istrinya pun sempat hidup tenang karena dekat dengan Sukarno yang dikenalnya sejak 1926. Kelak, Sayuti Melik tergabung dalam kelompok Menteng 31 yang membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Sehari kemudian, Indonesia merdeka dan teks proklamasi kemerdekaan itu diketik oleh Sayuti Melik.

Meskipun turut berperan dalam upaya kemerdekaan, menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), serta cukup dekat dengan Sukarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia, tapi Sayuti Melik tetap saja tidak sepenuhnya merasa merdeka.

Belum genap setahun Indonesia merdeka, Sayuti Melik ditangkap oleh pemerintah RI atas perintah Amir Syarifudin yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dengan tuduhan terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946 yang disebut-sebut sebagai upaya makar pertama pasca-kemerdekaan (Yuanda Zara, Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia. 2009:190).

Lantaran tidak terbukti bersalah setelah diperiksa oleh Mahkamah Tentara, Sayuti Melik lepas dari dakwaan. Kemudian, ia turut berjuang untuk republik melawan Belanda yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Pada 1948, Sayuti Melik ditangkap Belanda, ditahan di Ambarawa, dan baru bebas jelang penyerahan kedaulatan pada 1950.

Kehidupan Sayuti Melik setelah Indonesia sepenuhnya berdaulat ternyata tak kunjung tenteram. Sempat dekat dengan Sukarno, ia justru berbalik melawan dan menentang gagasan sang putra fajar tentang Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Sayuti Melik menuntut “Komunisme” diganti dengan “Sosialisme,” sehingga "Nasakom" seharusnya berganti menjadi "Nasasos" (Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, 1988:108).

Sayuti Melik juga sangat tidak setuju jika Sukarno menjadi presiden seumur hidup (Tempo, Volume 19, 1989). Lewat tulisan “Belajar Memahami Sukarnoisme” yang dimuat di puluhan media massa, ia memaparkan perbedaan Marhaenisme Sukarno dengan doktrin komunisme ala PKI. Sayuti Melik menyerang PKI—yang dulu pernah dibelanya—yang dianggapnya kerap menjilat sang penguasa.

Sejak saat itu, Sayuti Melik terkesan diabaikan oleh rezim Sukarno. Namun, saat rezim berganti dan Soeharto mengambil tampuk kepemimpinan, Sayuti justru mendapat perlindungan dari Orde Baru.

Aroma kiri yang pernah lekat pada diri Sayuti Melik ternyata dimaafkan. Pemilu 1971 dan 1977 bahkan menempatkannya sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi Golkar yang tidak lain adalah representasi dari kekuasaan Soeharto selama Orde Baru berjaya (Jailani Sitohang, Gaya Kepemimpinan Sukarno-Suharto, 1989: 55).

Hidup nyaman di era emas Orde Baru setelah melalui masa muda dari penjara ke penjara, Sayuti Melik meninggal dunia di Jakarta pada 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun. Soeharto selaku presiden datang melayat sang juru ketik proklamasi yang telah menjalani kehidupan penuh intrik dan polemik ini.


Sumber :
Biografi SAYUTI MELIK - Lengkap Biografi SAYUTI MELIK - Lengkap Reviewed by ek on Februari 10, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.